Mungkin akan lain, jika Afandi diminta untuk melukis “Potret Diri” tetapi untuk menggambarkan isi jiwa nya, bukan keadaan fisiknya. Afandi harus melukiskan sifat kesehariannya, tingkah lakunya, polah nya, gaya bergaulnya. Tentu saja akan sangat banyak obyek yang harus digambarkan, butuh usaha yang luar biasa, dan saya kira, Afandi tidak akan pernah mampu merampungkan lukisannya itu. Mengapa?. Karena menilai sifat dan perilaku diri adalah hal yang sulit. Teramat sulit bahkan. Adalah sesuatu yang sangat kompleks. Dan dalam benak saya, untuk dapat menilai sifat dan perilaku diri, itu adalah tugas orang lain, bukan tugas pribadi diri itu sendiri. Saya tentu tidak dapat memutuskan apakah saya sombong atau tidak. Karena adakalanya saya berpikir, apa yang saya lakukan adalah hal lumrah, adalah biasa saja, tetapi di pandang sebagai sesuatu yang buruk di mata orang lain. Itu yang kemudian, menurut saya, tidak mungkin seseorang akan tahu kondisi jiwa dan sifat dirinya jika hanya memandang dari sudut pandang dirinya dan tidak memperhatikan pendapat dan pandangan dari orang lain.
Mari ambil contoh, saya dimata seorang teman adalah orang yang humoris, orang yang suka bikin guyon. Saya pun memang menilai diri saya suka guyon. Tetapi sangat mungkin, ada orang lain, dari sudut pandang yang lain, menilai saya tidak bisa guyon, guyonan saya garing dan tidak lucu. Ini yang kemudian saya ingin kembali katakan, bahwa ternyata “memotret diri” tidak mudah. Selain ternyata membutuhkan orang lain, masih ada kemungkinan pandangan masing-masing orang akan berbeda pada obyek yang dinilai walau pada kenyataannya yang dinilai adalah hal yang sama. Saya bisa saja menunjuk orang kalau orang tersebut orang yang menyebalkan. Orang yang sering bikin hati ini sebal. Pengen mukul, misalnya. Tapi setelah saya tanya ke teman yang lain, ternyata orang yang menurut saya paling menyebalkan adalah orang yang paling asik dari sudut pandang temen yang lain.
Memotret diri, adalah proses menuju kedewasaan. Saya ingat betul, ketika semester awal kuliah dulu, saya menemukan catetan kuliah seorang teman, yang isinya obrolan tertulis dengan teman saya yang lainnya. Saya tercengang, ketika di situ tertulis:
A: “Saya sedang sangat benci dengan seseorang”.
B: “aku tahu orangnya”
A: “siapa coba?”
B: “Farid kan?“
A: “iya betul”.
Saya yang saat itu tidak merasa bertindak, berkata, bertingkah laku yang menyakiti dan menyebalkan orang, ternyata adalah orang yang dibenci dan dicaci maki karena omongan dan tingkah laku saya. Yang kemudian jadi pertanyaan besar bagi saya saat itu adalah saya harus bagaimana dengan pernyataan dua orang teman saya tadi. Pertanyaan selanjutnya, apa saya harus menjauhi teman saya itu?. Karena saya ternyata “hanya” orang yang menjengkelkan bagi mereka berdua. Akhirnya, titik pentingnya adalah, menurut saya, sebatas pada bagaimana saya menerima bahwa potret diri yang dibuat orang lain ternyata berbeda dengan yang menurut saya lakukan. Bahkan lebih jelek dari yang kita bayangkan. Ya, proses untuk menerima perbedaan hasil potret diri ini adalah sebuah proses menuju kedewasaan. Setidaknya, saya tidak harus marah-marah dan mengumat di belakang tentang dua teman saya yang ternyata di belakang saya “membuat” potret diri yang jelek tentang saya. Ya, hal ini mengingatkan saya, saya tidak harus marah, dan juga tidak harus berterima kasih atas potret diri yang jelek itu, karena ternyata, potret diri buatan orang lain, tentang diri kita, walaupun jelek dan menjengkelkan adalah potret diri yang memang jadi hak mereka untuk menghasilkan potret diri yang seperti itu.
Potret diri ternyata jadi sesuatu yang membingungkan jika sudah harus melibatkan banyak orang, banyak pandangan, banyak persepsi, dan dengan latar belakang emosi yang berbeda pula. Jadi, BAGAIMANA POTRET DIRI anda? Sudah ganteng kah? [^_^]
gambar dari sini